Emas Hijau
Posted on 16. Apr, 2008 by maz in Bioteknologi, Teknopreneur
Jambu biji menjadi menu wajib pasien penderita demam berdarah di Indonesia, pertanyaannya adalah sekedar kebiasaan dan mitos atau sebuah solusi ilmiah? Ternyata penelitian-penelitian terkini membuktikan bahwa jambu biji dan daunnya berkhasiat meningkatkan jumlah trombosit darah pada pasien demam berdarah.
Jambu biji bukan satu-satunya hasil tanaman yang direkomendasikan menjadi obat, satu demi satu “resep nenek” menemukan penjelasan ilmiah dan terbukti dapat digunakan sebagai obat. Jeruk nipis terbukti dapat bekerja sebagai ekspektoran yang meluruhkan dahak pada penderita batuk, begitu juga daun katuk yang ternyata mengandung senyawa asam seskuiterna yang membantu melancarkan produksi ASI.
Para peneliti di bidang farmasi meyakini bahwa Indonesia, dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, memiliki ragam tanaman obat yang juga sangat kaya. Dengan lebih dari 40.000 spesies tanaman di Indonesia, diyakini 8.000 spesies di antaranya berkhasiat untuk digunakan sebagai obat. Namun, sampai saat ini yang sudah dikembangkan sebagai bahan baku obat atau jamu masih kurang dari 200 jenis.
Konsumsi Obat di Indonesia
Tingkat konsumsi obat di Indonesia memang masih termasuk rendah di Asia Tenggara terlebih jika dibandingkan negara-negara maju. Salah satu penyebabnya adalah tingginya harga obat di Indonesia yang bisa berkali-kali lipat dibandingkan harga di negara-negara lain. Jika ditelusuri, kondisi ini merupakan buah dari ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku impor untuk produk farmasinya.
Industri farmasi Indonesia masih mengimpor sekira 80% lebih bahan baku, sehingga sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS. Ditambah tingginya bea masuk bahan baku yang selanjutnya dikonversi menjadi komponen harga obat.
Namun jangan salah, “konsumsi rendah” tersebut ternyata menghasilkan angka penjualan yang lumayan besar. Pada 2005, total belanja obat masyarakat mencapai 25 triliun rupiah. Dari nilai pendapatan tersebut diperkirakan keuntungan bersih yang dikantongi 206 perusahaan farmasi di Indonesia mencapai 8 triliun rupiah.
Peluang Obat Berbahan Alami
Tingginya harga obat di Indonesia ternyata membuka peluang bagi obat berbahan alami, mulai dari jamu yang merupakan produk paling sederhana, herba sebagai obat alami yang telah lolos uji pre klinis, serta fitofarmaka yang telah lolos uji klinis. Meskipun sampai saat ini tercatat baru lima obat alami yang dikategorikan sebagai fitofarmaka, namun keberadaannya telah mendorong riset-riset lebih lanjut terhadap obat-obat alami asli Indonesia.
Sebuah perusahaan farmasi nasional berhasil mengembangkan ekstrak meniran menjadi obat alami untuk meningkatkan imunitas tubuh. Setelah lulus uji pre klinis dan klinis, obat tersebut mampu menembus pasar ekspor dan memperoleh pengakuan internasional.
Sayangnya di tengah geliat kebangkitan obat alami Indonesia tersebut, lagi-lagi kita kalah cepat bergerak dibandingkan negara-negara tetangga. Beberapa senyawa aktif dari tanaman obat di Indonesia dipatenkan oleh para peneliti negeri lain terutama Jepang. Tanaman obat kita masih menjadi komoditas, diekspor ke negara lain, dan selanjutnya di negara tersebut diolah menjadi produk-produk farmasi.
Berdasarkan data ekspor tanaman obat menurut negara tujuan ekspor, Hongkong merupakan pasar utama tanaman obat Indonesia dengan nilai rata-rata ekspor setiap tahunnya sebesar 730 ton dengan nilai sebesar 647 ribu US dolar. Tujuan ekspor tanaman obat Indonesia berikutnya adalah Jerman, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia.
Bergerak Lebih Cepat
Secara global, pada 2004 industri biofarmasi dunia mencatat nilai penjualan sebesar 80 juta US dolar atau sekitar 16% dari total penjualan obat dunia yang mencapai 500 juta US dolar. Nilai ini diprediksi akan terus meningkat karena obat yang diproduksi industri biofarmasi ini dianggap lebih alami dibanding obat yang menggunakan bahan kimia.
Pemerintah Indonesia pernah membuat master plan bioteknologi medis beberapa tahun yang lalu dan pada tataran praktis, Pemerintah pun pernah memberikan anggaran riset 19 tanaman obat sebesar Rp 3,5 miliar pada tahun 2005. Yang perlu kita lakukan bersama adalah bergerak lebih cepat dan terkoordinasi agar “emas hijau” yang kita miliki dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara nyata.